BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seni Wayang Jawa sudah ada jauh
sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya
masyarakat atau kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek kebudayaan Jawa.
Cerita dalam pertunjukan wayang menggambarkan jiwa kepahlawanan para nenek
moyang yang ada dalam mitologi.
Masyarakat Indonesia khusunya
daerah Jawa sangat senang menonton wayang karena cerita wayang dianggap sebagai
pedoman hidup dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Terdapat 40 jenis
wayang di Indonesia, diantaranya : Wayang Beber, Wayang Klithik, Wayang Kulit,
Wayang Krucil dan Wayang Thengul / Golek, dan lain-lain.
Pementasan wayang selalu diiringi
musik gamelan, dengan seorang dalang, para nayaga, dan sinden. Zaman dahulu
pertunjukan wayang sering dipertunjukan pada acara pernikahan, sunatan,
syukuran, atau petinggi-petinggi desa yang sengaja mengambil pertunjukan wayang
untuk menghibur masyarakat.
Pertunjukan wayang juga tak lupa
dari tata bahasa yang digunakannya, tata bahasa wayang bergantung pada wayang
yang ditampilkan dan berasal dari daerah mana wayang tersebut. Wayang yang
terkenal di daerah pasundan yaitu wayang golek dengan ciri khas menggunakan
bahasa sunda serta dipelopori oleh dalang yang terkenal yaitu Alm. Asep Sunandar
Sunarya.
Wayang yang merupakan budaya
Indonesia memiliki peran besar terhadap bangsa. Selain pertunjukannya, wayang
juga memberikan banyak pelajaran hidup bagi masyarakat Indonesia. Wayang
sebagai falsafah, merupakan penggambaran dari kehidupan (dalam sebuah
pertunjukan) yang dikendalikan oleh dalang, dan wayang sebagai yang
dikendalikan oleh dalang.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Apa pengertian wayang, wayang golek,
serta sejarahnya?
2.
Bagaimana bahasa yang digunakan
dalang dalam pengadeganan wayang golek ?
3.
Bagaimana cara pengadeganan wayang
golek ?
4.
Apa fungsi wayang dalam kehidupan
masyarakat?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka dapat diketahui tujuan sebagai berikut :
1.
Mengetahui pengertian wayang dan
wayang golek hingga mengetahui perkembang di masyarakat.
2.
Mengetahui bahasa yang digunakan
dalam penampilan wayang golek.
3.
Mengetahui cara pengadeganan wayang
dan nama dalam setiap adegan wayang golek.
4.
Mengetahui fungsi wayang golek
dalam kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
Sejarah Perkembangan Wayang dan Wayang Golek di Indonesia
Wayang adalah seni pertunjukan
asli Indonesia yang
berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di
beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya, yang juga memiliki beberapa
budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. UNESCO, lembaga PBB yang membawahi bidang
kebudayaan, pada 7
November 2003 menetapkan
wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah
warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece
of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan
boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki
pertunjukan boneka. Namun,
pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan
keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk
itulah UNESCO memasukkannya
ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda
Warisan Manusia pada tahun 2003.
Keberadaan wayang, baik itu wayang
kulit, wayang orang, maupun wayang golek dan juga beragam wayang (setidaknya
ada lebih dari 40 jenis wayang) di tanah air Indonesia ini telah menjadi
khazanah sastra di Indonesia. Wayang yang pada tanggal 7 November 2003 resmi
diakui sebagai warisan budaya Indonesia ini menjadi saksi tingginya kebudayaan
dimasa lampau, dimana awal mula wayang, berkaitan dengan kisah mahabarata dan
ramayana yang notabene berasal dari tanah india.
Mengenal lebih lanjut mengenai
wayang. Wayang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua.
Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan
wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung pada tahun 907 Masehi, yang
mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang. Dari
mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya
bukti-bukti yang mendukung. Ada yang meyakini bahwa wayang merupakan asli
kebudayaan Jawa dengan alasan istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan
banyak menggunakan istilah bahasa Jawa. Dr. G. A. J. Hazeu, dalam desertasinya Bijdrage
tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri
Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian masyarakat
Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak
menggunakan bahasa Jawa, misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang.
Pada susunan rumah tradisional di
Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa,
omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan),
dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun
rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de
Oorsprong van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa,
pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang
di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah
ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.N.J. Krom sama pendapatnya
dengan Dr. W. Rassers, mengatakan bahwa pertunjukan wayang di Jawa sama dengan
apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan
ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang
mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan
dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa - Prof G.
Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam
wayang.
Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti,
sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang.
Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke
Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang
penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian),
Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang
sama dengan wayang dalam bahasa Jawa. Meskipun di Indonesia orang sering
mengatakan bahwa wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus
dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana dengan
cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu
mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya, Attempt
at a historical outline of the shadow theatre, Jacques Brunet (Kuala
Lumpur, 27-30 Agustus 1969) mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak
anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India
terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba untuk
menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia
terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang
bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran wayang
dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia
Tenggara.
Di Timur Tengah, disebut Karagheuz,
di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek
& Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan
yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari
Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang,
yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para pedagangnya.
Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda
dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit.
Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang
bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam
cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti:
Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu
Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu
Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari
cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada
jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat
setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra,
karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu
diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila
kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari
karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
Hal ini diperkuat fakta bahwa
cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya
menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita
yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi dari epos
Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng
setempat.
Dari banyak jenis wayang yang terdapat di Indonesia, makalah ini terfokus pada
wayang golek yang lahir di Jawa Barat. Wayang Golek adalah salah satu seni
tradisional sunda yang terbuat dari boneka kayu. Istilah golek dapat
merujuk kepada dua makna, sebagai kata kerja kata golek bermakna
'mencari', sebagai kata benda golek bermakna boneka
kayu. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya yaitu wayang
golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Dalam
pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan
yaitu lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata
atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu
tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau
Ramayana seperti biasanya. Biasanya cerita carangan semacam ini dilakukan untuk
memenuhi pesanan dari pihak yang nanggap, atau untuk misi penerangan
pemerintah.
Sejarah Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh
dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari
Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di
daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan
pergelaran Wayang Golek.Yang dimaksud dengan wayang golek purwa dalam tulisan
ini adalah pertunjukan boneka (golek) wayang yang cerita pokoknya bersumber
pada cerita Mahabharata dan Ramayana. Istilah purwa mengacu pada pakem
pedalangan gaya Jawa Barat dan juga Surakarta yang bersumber pada Serat Pustaka
Raja Purwa karya R. Ng. Ranggowarsito. Beliau berhasil mengolah cerita-cerita
yang bersumber dari kebudayaan India yang dialkulturasikan dengan kebudayaan
asli Indonesia. Golek Sunda adalah seni pertunjukan tradisi yang berkembang di
tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan wayang kulit dua dimensi, boneka wayang
golek adalah salah satu jenis wayang trimatra atau tiga dimensi.
Menurut C.M Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada
tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada abad 16 dalam
naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang
Pandawa Ring / Kuningan. Pendapat lain yang berkenaan dengan penyebaran
wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan
Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Songo. Termasuk Sunan Gunung Jati yang
pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kesultanan Cirebon. Beliau
memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran
agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan dari Dewan Wali
Sanga menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah Sunan Kudus yang menciptakan
Wayang Golek pertama.
Pada saat kabupaten-kabupaten di
Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, zaman pemerintahan Sultan Agung
(1601-1635), mereka yang menggemari seni pewayangan lebih meningkat lagi dalam,
ditambah lagi banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk
mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan. Dalam
penyebarannya wayang golek dengan pemakaian bahasa masing-masing, seni wayang
golek lebih berkembang, dan menjangkau hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Menurut penjelasan Dr.Th. Pigeaud,
bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek
yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita Ramayana dan
Mahabharata. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek secara
berangsur-angsur, hal itu terjadi pada sekitar abad ke-18. Penemuan ini
diperkuat dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati
Bandung (Karanganyar) menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal
Tegal, Jawa Tengah, yang menetap di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuatkan bentuk
golek purwa. Pada abad ke-20, wayang golek mengalami perubahan-perubahan
bentuk, semakin menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita
ketemukan sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek
Purwa Sunda.
Dalam perjalanan sejarahnya,
pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama
peran penguasa terutama para bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh besar
terhadap berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang
golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) di lingkungan
Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan
umum.
Bagi seniman wayang yang masih
tetap mempertahankan nilai tuntunan, mereka tetap ingin berupaya mengembangkan
daya kreatifitasnya melalui keseimbangan antara garap tuntunan dan tontonan.
Wadah, perangkat kasar, meliputi penggarapan unsur-unsur pedalangan
(penggarapan tokoh, lakon, alur, sastera pedalangan, sabet, iringan dll). Isi
adalah penggarapan esensi atau rohani serta pesan moral yang akan
disampaikan.
Kesimpulannya, keberadaan wayang
golek dari dulu hingga sekarang memang mengalami perubahan serta pengembangan
ke arah modernisasi tanpa mengurangi nilai tradisional, dan esensinya selalu
relevan dengan situasi zaman (Sumanto, Makalah, Konsep wadah dan isi).
B.
Bahasa yang
digunakan dalam Wayang Golek
Cerita wayang bersumber pada
beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan
Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan
karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem,
Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Pada dasarnya bahasa/percakapan
antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini
adalah bahasa Sunda dengan undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata
bahasa. Walaupun demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan
Togog umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut
dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang yang
berjumlah ratusan.
Demikian juga dalam penyampaian
prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada umumnya para
Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam
lagu tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan
suasana adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.Selain Murwa dan
Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya
untuk menggambarkan suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan.
Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada
karawitannya, terutama tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya
dituturkan/dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan
selanjutnya para Dalang mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk
Murwa dan Nyandra, atau untuk Suluk dan Kakawen.
Dalam menyempaikan lakon/cerita,
seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak
beraturan. Untuk itu disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga
atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan
Sasmita yang mempunyai arti sebagai berikut:
NO
|
KOSA KATA
|
KBBI
|
KAMUS BAHASA SUNDA
|
KONTEKSTUAL
|
1
|
Sindir
|
Celaan, ejekan
|
|
Adalah kritik-kritik, kecaman-kecaman atau
pujian yang di ungkapkan dalam suatu cerita, yang disusun sedemikian rupa
sehingga harus serta tidak secara langsung menyinggung hati yang dikritik
atau dikecamnya.
|
2
|
Silib
|
|
|
Silib adalah suatu penerangan atau nasihat
yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan tertentu.
|
3
|
Siloka
|
|
|
kalimat-kalimat yang harus digali kembali
bila ingin mengetahui arti yang sesungguhnya.
|
4
|
Simbul
|
|
|
perlambang yang harus dicari atau
ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.
|
5
|
Sasmita
|
Gerakan bagian tubuh seperti tangan, lengan,
bahu , kepala, mata dsb yang mempunyai isyarat tubuh
|
|
Isyarat atau pertanda
|
7
|
Karatonan
|
|
|
Menceritakan keadaan di keraton Negara lawan
(antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan besar
|
8
|
Pasebanan
|
Paseban balai yang digunakan untuk menghadap
(raja dsb); balai penghadapan
|
|
Para pembesar Negara sedang mengadakan
persiapan dengan bala tentaranya di Paseban.
|
9
|
Bebegalan
|
|
|
Saat di sebuah hutan, rombongan ini dihadang
oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu ketenteramannya. Perang tak
dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan
melanjutkan perjalanannya.
|
10
|
Karaton lain
|
Tempat kediaman ratu atau raja
|
|
Menceritakan keadaan di keratin Negara lain,
yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun biasanya tengah
menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja,
dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan
lawan yang membuat kerusuhan.
|
11
|
Perang papacal
|
Perang Permusuhan antara dua negara (
bangsa, suku, agama, dsb)
|
|
Terjadi peperangan “kecil” antara kedua
belah pihak Perang ii bias dimenangkan oleh si baik atau si jahat, tapi
umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa apa yang
diingininya.
|
12
|
Gara-gara
|
Peristiwa yang menggemparkan ; kegemparan;
kerusuhan ; keributan
|
|
Gara-gara ini adalah adegan lawak yang
dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria
asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat
dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga dapat
menghilangkan rasa kantuk
|
13
|
Perang kembang
|
Perang Permusuhan antara dua negara (
bangsa, suku, agama, dsb) kembang bunga
|
|
Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan
rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh
dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.
|
14
|
Perang barubuh
|
Perang Permusuhan antara dua negara (
bangsa, suku, agama, dsb)
|
|
Tokoh utamanya mengejar musuh sampai
kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah dicurinya
oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan
kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.
|
15
|
karatonan
|
|
|
Seluruh adegan biasanya berakhir di sebuah
keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama. Kesimpulan
akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.
|
Hakikatnya, Panca Curiga
tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan antara satu sama lainnya tidak
dapat dipisah-pisahkan. Fungsinya adalah untuk memberikan “batasan” kepada
Dalang dan Seniman pendukung Wayang Golek agar dalam mengucapkan kata
(langsung), karena hal itu dapat menyinggung orang lain serta menurunkan
derajat dan nilai seni pedalangan yang mereka anggap adiluhung.
C.
Pengadeganan
Wayang
Pengadegan disini adalah pola
cerita atau Struktur Dramatik. Alur cerita dalam pergelaran Wayang itu tidak
begitu penting sehingga kemapanan pola cerita tidak akan rusak karenanya.Seraca
garis besar Susunan Pengadegan itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Karatonan, Pasebanan, Bebegalan, Karaton lain, Perang Papacal, Gara-gara,
Panditaan, Perang Kembang, Perang Barubuh, dan Karatonan.
Karatonan: Menceritakan
keadaan di keratin Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang menghadapi
kesulitan besar. Para Pembesar negeri itu tengah bermusyawarah untuk mencari
jalan keluar dari kesulitan, kemudian salah seorang yang hadir mengajukan satu
cara. Sang Raja menyetujuinya, kemudian menugaskan para Pembesar untuk
menyiapkan diri.
Pasebanan: Para
pembesar Negara sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di Paseban.
Mereka mendapat tugas dari rajanya, yang intinya perintah tersebut akan
merugikan pihak lain. Rombongan itu pergi menuju Negara lawan dipimpin oleh
Senapati andalannya. Pimpinan rombongan biasanya akan mengendarai kuda atau
gajah yang akan divisualisasikan Dalang dalam bentuk tarian Jaranan yang
menarik.
Bebegalan: Saat di
sebuah hutan, rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah karena
terganggu ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu
dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan perjalanannya.
Karaton Lain: Menceritakan
keadaan di keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton
inipun biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit,
mimpi buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah,
tiba-tiba dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.
Perang Papacal: Terjadi
peperangan “kecil” antara kedua belah pihak Perang ini bias dimenangkan oleh si
baik atau si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan
membawa apa yang diingininya.
Gara-Gara: Gara-gara
ini adalah adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala,
Gareng) untuk menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di sebuah
Patapan. Adegan ini biasanya sangat dinanti-nantikan penonton karena penuh
canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk. Setelah lawakan usai,
muncullah ksatria (tokoh utama) tersebut dengan Pendita yang menjadi gurunya.
Sang Guru memberikan wejangan kepada muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya
sang tokoh utama diiringi oleh para. Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.
Perang Kembang: Di tengah
perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran.
Dalam pertempuran ini musuh dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.
Perang Barubuh: Tokoh
utamanya mengejar musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan
menyelematkan apa yang telah dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah perang
besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh
tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.
Karatonan: Seluruh
adegan biasanya berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh
keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh
kebajikan.
Waktu dan tempat pertunjukanWayang
Golek Sunda dapat dipertunjukkan pada siang hari ataupun malam. Hal ini
dikarenakan pergelaran tersebut tidak menggunakan kelir seperti halnya
pergelaran Wayang Kulit dari Jawa Tengah atau Jawa Timur yang membutuhkan
kegelapan agar wayang dapat dipertontonkan dengan menggunakan cahaya yang
minim. Pertunjukan siang hari biasanya dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul
16.00 WIB, sedangkan pertunjukan malam hari diselenggarakan mulai pukul 21.30 sampai
menjelang azan Subuh.
Tempat pertunjukan biasa dilaksanakan dimana saja, di dalam ruang tertutup atau
di tempat terbuka asal tempat tersebut mampu menampung jumlah pemain dan
penontonnya. Baik di dalam ruangan ataupun di tempat terbuka pergelaran wayang
golek membutuhkan panggung. Panggung tersebut biasanya lebih tinggi dari pada
kedudukan penonton, hal ini dimaksudkan agar para penonton tersebut dapat
melihat dengan jelas jalannya pertunjukan.Di atas panggung dipasang dua batang
pohon pisang (gedebog) yang panjangnya kurang-lebih 1,5 meter sebagai area
permainan atau untuk menancapkan wayang. Posisi kedua gedebog itu ditinggikan
sekitar 80 cm dengan memakai penopang dari kayu yang telah dosediakan. Di
kanan-kiri area pertunjukan dipasang pula gedebog dengan posisi yang lebih
rendah, fungsinya adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang sedang tidak
terpakai. Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan yang telah
baku.
D.
Fungsi Wayang
Golek dalam Masyarakat Indonesia
Dalam perjalanan sejarahnya,
pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama
peran penguasa para bupati di Jawa Barat mempunyai pengaruh besar terhadap
berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang golek
diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) dilingkungan Istana
atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum.
Fungsi pertunjukan wayang tersebut
bergantung pada permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran
tersebut untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka tontonan/hiburan.
Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual, walupun ada tetapi sudah jarang
sekali di pentaskan. Misalnya upacara sedekah laut dan sedekah bumi, setiap
tahun sekali. Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek
untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan memperingati
hari jadi kabupaten, HUT Kemerdekaan RI, Syukuran dan lain sebagainya. Walaupun
demikian, bukan berarti esensi yang mengandung nilai tuntunan dalam pertunjukan
wayang golek sudah hilang, tidak demikian halnya.
Hasil wawancara dari beberapa tokoh
wayang, misalnya Bp.Barnas Sumantri (Jakarta), Tjetjep Supriyadi (Karawang),
Endin Somawijaya (Sukabumi), Dede Amung (Bandung), memberitakan bahwa sejak
tahun 60-an sampai tahun 70-an, fungsi nilai tuntunan masih bisa diterima
khalayak penonton. Awal tahun 70-an mulai ada pertunjukan dengan menghadirkan
bintang pesinden/juru kawih yang terkenal, bahkan ketenarannya melebihi
dalangnya. Akhirnya pergelaran itu bisa diterima masyarakat, dan banyak seniman
lain yang menirunya, meskipun sebagian dari mereka belum bisa menerima
pembaharuan tersebut. Dari masyarakat, khususnya para seniman wayang (dalang,
niyaga, pesinden), sejak itu mereka mulai mengadakan eksplorasi pertunjukan
yang mengedepankan visualisasi tontonan dan hiburan. Maka tidak mengherankan
bila pada waktu itu, sudah ada pertunjukan wayang golek yang mendatangkan tari
Jaipong yang menari di atas panggung. Itulah barangkali yang membuat esensi
dari wayang tersebut kurang begitu seimbang antara konsep wadah dan isi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Wayang merupakan mahakarya
kebudayaan tradisi Indonesia tidak hanya
mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh
para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik pedalangan.
Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati
pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil
musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di
Bandung.
B.
Saran
Indonesia memiliki
banyak sekali kebudayaan dari barat hingga timur. Dengan banyaknya
kebudayaan yang dimiliki, sepatutnya masyarakat Indonesia menjaga apa yang
telah dijaga selama beberapa generasi. Makna menjaga, tidak hanya sekadar
menaruh berbagai bentuk kebudayaan, terutama wayang, di dalam museum. Namun
yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga eksistensi kebudayaan yang
kita miliki sehingga seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia, mengenal bahwa
Indonesia memiliki kebudayaan yang dimaksud. Apalagi wayang, sebagai salah satu
kebudayaan asli Indonesia, memiliki nilai-nilai kehidupan pada setiap
pertunjukannya. Hal ini sekaligus dapat mendidik masyarakat Indonesia dalam
menjalani kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriyono, dkk. 2008. Buku Pedalangan untuk SMK. Jakarta :
Penerbit Departemen Pendidikan Nasional