Kalender

Kamis, 16 Februari 2017

ARTIKEL BERFIKIR JERNIH - FILSAFAT DAKWAH BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM



JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
Cara Betfikir Jernih
Oleh Devi Nurhasanah

Ada sebuah fable (Cerita tentang binatang) yang perlu kita kaji. Seekor kambing mencari rumput untuk makan siangnya dengan asyik, sehingga tanpa disadari sudah terlalu dalam masuk ke hutan. Dia mengawasi sekelilingnya dan terlihat olehnya seekor harimau yang menuju ke arahnya. “Ya Tuhan, saya dalam kesulitan sekarang,” pikir si kambing.
Dia lihat disekitarnya banyak tulang berserakan, serta merta dia duduk membelakangi arah harimau datang. Setelah dia rasa harimau sudah cukup dekat untuk mendengar suaranya, segeralah si kambing bersuara, “Oh My God, betapa nikmat daging harimau, masih adakah harimau disekitar sini?”
Mendengar itu siharimau berhenti melangkah, dan berbalik sambal bergumam, “Huh hampir saja aku jadi makanan kambing.” Dan si harimaupun berlalu menjauh.
Diatas pohon ada seekor monyet yang menyaksikan peristiwa itu, dengan sigap dia meompat mengejar si harimau. Si kambing melihat hal itu dan berfikir sejenak, “Pasti ada yang kurang beres nih!” benar saja, ternyata monyet membongkar rahasia peristiwa yang sempat ia saksikan kepada harimau, harimau menjadi geram, “Ayo nyet, kamu naik punggungku, kita lihat pembalasanku.”
Kambing melihat harimau datang lagi bersama monyet, berfikir lagi “apa yang harus aku lakukan sekarang.” Seperti kejadian tadi, kambing duduk membelakangi arah datangnya mereka. Dan setelah dekat segera kambing berkata seperti kepada dirinya sendiri, “Dasar monyet ga bisa dipercaya, sudah satu jam aku menunggu, katanya akan membawakan harimau lagi, sampai sekarang belum muncul juga, awas kalau dia datang.”
Lalu tanpa pikir panjang si harimaupun lari tunggang langgang menjauh dari tempat itu, dan monyet segera melompat, bergelantungan di pepohonan.
Dari cerita ini saya melihat kecerdikan dan ketenangan kambing dalam mengjadapi masalah yang bahkan mengancam nyawanya. Tapi dengan ketenangan dan kejernihan fikirannya, kambing bisa cepat menggunakan akalnya untuk mendapat solusi dari masalahnya.
Kambing ini mengetahui betul apa tujuannya, yaitu berusaha selamat dari ancaman kematian harimau yang kelaparan. Juga tidak memperdulikan bayangan ketakutan yang bisa timbul oleh ancaman itu. Dengan demikian ia bisa berfikir jernih dengan cepat, untuk segera mendapat solusinya.
Bagaimana jadinya kalau dalam fikiran kambing yang muncul adalah bayangan banyangan buruk, “Waduh.. mati aku.” Atau “mengapa aku bisa sampai tersesat disini?” atau “apa aku bisa selamat dari serangan harimau itu?” atau “kenapa si monyet sialan musti ngomong ke harimau?” bukan tak mungkin si kambing sekarang Cuma tinggal tulang belulang seperti yang ada disekitarnya.
Untuk itu marilah kita coba bersama, berusaha untuk tetap berfikir jernih, tetap tenang dalam menghadapi masalah (bukan berarti masa bodoh) supaya kita bisa lebih cepat berfikir, lebih tahu apa tujuan kita, lebih cepat mendapat solusi untuk setiap masalah kita, dengan begitu akan lebih cepat meraih tujuan dan cita cita kita.
Bayangkan : mencari koin didalam kolam yang jernih, akan lebih cepat ketemu, dari pada mencarinya dalam kolam yang keruh.”
Maaf, bukan berarti saya menggurui atau menasehati, tapi itulah renungan yang sedang saya lakukan sekarang.
Bisakah saya menjaga pikiran saya tetap jernih?
Bisakah saya mencari jalan keluar dari permasalahan saya sekarang?
Apakah saya benar benar tahu apa yang sedang saya cari?

MAKALAH WAYANG GOLEK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat atau kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek kebudayaan Jawa. Cerita dalam pertunjukan wayang menggambarkan jiwa kepahlawanan para nenek moyang yang ada dalam  mitologi.
Masyarakat Indonesia khusunya daerah Jawa sangat senang menonton wayang karena cerita wayang dianggap sebagai pedoman hidup dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Terdapat 40 jenis wayang di Indonesia, diantaranya : Wayang Beber, Wayang Klithik, Wayang Kulit, Wayang Krucil dan Wayang Thengul / Golek, dan lain-lain.
Pementasan wayang selalu diiringi musik gamelan, dengan seorang dalang, para nayaga, dan sinden. Zaman dahulu pertunjukan wayang sering dipertunjukan pada acara pernikahan, sunatan, syukuran, atau petinggi-petinggi desa yang sengaja mengambil pertunjukan wayang untuk menghibur masyarakat.
Pertunjukan wayang juga tak lupa dari tata bahasa yang digunakannya, tata bahasa wayang bergantung pada wayang yang ditampilkan dan berasal dari daerah mana wayang tersebut. Wayang yang terkenal di daerah pasundan yaitu wayang golek dengan ciri khas menggunakan bahasa sunda serta dipelopori oleh dalang yang terkenal yaitu Alm. Asep Sunandar Sunarya.
Wayang yang merupakan budaya Indonesia memiliki peran besar terhadap bangsa. Selain pertunjukannya, wayang juga memberikan banyak pelajaran hidup bagi masyarakat Indonesia. Wayang sebagai falsafah, merupakan penggambaran dari kehidupan (dalam sebuah pertunjukan) yang dikendalikan oleh dalang, dan wayang sebagai yang dikendalikan oleh dalang.




B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian wayang, wayang golek, serta sejarahnya?
2.      Bagaimana bahasa yang digunakan dalang dalam pengadeganan wayang golek ?
3.      Bagaimana cara pengadeganan wayang golek ?
4.      Apa fungsi wayang dalam kehidupan masyarakat?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat diketahui tujuan sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian wayang dan wayang golek hingga mengetahui perkembang di masyarakat.
2.      Mengetahui bahasa yang digunakan dalam penampilan wayang golek.
3.      Mengetahui cara pengadeganan wayang dan nama dalam setiap adegan wayang golek.
4.      Mengetahui fungsi wayang golek dalam kehidupan masyarakat.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Sejarah Perkembangan Wayang dan Wayang Golek di Indonesia
Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya, yang juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. UNESCO, lembaga PBB yang membawahi bidang kebudayaan, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun, pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukkannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003.
Keberadaan wayang, baik itu wayang kulit, wayang orang, maupun wayang golek dan juga beragam wayang (setidaknya ada lebih dari 40 jenis wayang) di tanah air Indonesia ini telah menjadi khazanah sastra di Indonesia. Wayang yang pada tanggal 7 November 2003 resmi diakui sebagai warisan budaya Indonesia ini menjadi saksi tingginya kebudayaan dimasa lampau, dimana awal mula wayang, berkaitan dengan kisah mahabarata dan ramayana yang notabene berasal dari tanah india.
Mengenal lebih lanjut mengenai wayang. Wayang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung pada tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang. Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukung. Ada yang meyakini bahwa wayang merupakan asli kebudayaan Jawa dengan alasan istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak menggunakan istilah bahasa Jawa. Dr. G. A. J. Hazeu, dalam desertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian masyarakat Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa, misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang.
Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, mengatakan bahwa pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa - Prof G. Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa. Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana dengan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya, Attempt at a historical outline of the shadow theatre, Jacques Brunet (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 1969) mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara.
Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand. Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan Valmiki.
Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat.
            Dari banyak jenis wayang yang terdapat di Indonesia, makalah ini terfokus pada wayang golek yang lahir di Jawa Barat. Wayang Golek adalah salah satu seni tradisional sunda yang terbuat dari boneka kayu. Istilah golek dapat merujuk kepada dua makna, sebagai kata kerja kata golek bermakna 'mencari', sebagai kata benda golek bermakna boneka kayu. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya yaitu wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan yaitu lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana seperti biasanya. Biasanya cerita carangan semacam ini dilakukan untuk memenuhi pesanan dari pihak yang nanggap, atau untuk misi penerangan pemerintah.
            Sejarah Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.Yang dimaksud dengan wayang golek purwa dalam tulisan ini adalah pertunjukan boneka (golek) wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana. Istilah purwa mengacu pada pakem pedalangan gaya Jawa Barat dan juga Surakarta yang bersumber pada Serat Pustaka Raja Purwa karya R. Ng. Ranggowarsito. Beliau berhasil mengolah cerita-cerita yang bersumber dari kebudayaan India yang dialkulturasikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Golek Sunda adalah seni pertunjukan tradisi yang berkembang di tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan wayang kulit dua dimensi, boneka wayang golek adalah salah satu jenis wayang trimatra atau tiga dimensi. 
            Menurut C.M Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada abad 16 dalam naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring / Kuningan. Pendapat lain yang berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Songo. Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kesultanan Cirebon. Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan dari Dewan Wali Sanga menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek pertama. 
Pada saat kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, zaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang menggemari seni pewayangan lebih meningkat lagi dalam, ditambah lagi banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan. Dalam penyebarannya wayang golek dengan pemakaian bahasa masing-masing, seni wayang golek lebih berkembang, dan menjangkau hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Menurut penjelasan Dr.Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita Ramayana dan Mahabharata. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek secara berangsur-angsur, hal itu terjadi pada sekitar abad ke-18. Penemuan ini diperkuat dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati Bandung (Karanganyar) menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal, Jawa Tengah, yang menetap di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuatkan bentuk golek purwa. Pada abad ke-20, wayang golek mengalami perubahan-perubahan bentuk, semakin menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita ketemukan sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek Purwa Sunda.
Dalam perjalanan sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama peran penguasa terutama para bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh besar terhadap berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) di lingkungan Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum. 
Bagi seniman wayang yang masih tetap mempertahankan nilai tuntunan, mereka tetap ingin berupaya mengembangkan daya kreatifitasnya melalui keseimbangan antara garap tuntunan dan tontonan. Wadah, perangkat kasar, meliputi penggarapan unsur-unsur pedalangan (penggarapan tokoh, lakon, alur, sastera pedalangan, sabet, iringan dll). Isi adalah penggarapan esensi atau rohani serta pesan moral yang akan disampaikan. 
Kesimpulannya, keberadaan wayang golek dari dulu hingga sekarang memang mengalami perubahan serta pengembangan ke arah modernisasi tanpa mengurangi nilai tradisional, dan esensinya selalu relevan dengan situasi zaman (Sumanto, Makalah, Konsep wadah dan isi).

B.     Bahasa yang digunakan dalam Wayang Golek
Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Pada dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang yang berjumlah ratusan.
Demikian juga dalam penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.Selain Murwa dan Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya dituturkan/dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra, atau untuk Suluk dan Kakawen.
Dalam menyempaikan lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak beraturan. Untuk itu disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita yang mempunyai arti sebagai berikut:

NO
KOSA KATA
KBBI
KAMUS BAHASA SUNDA
KONTEKSTUAL
1
Sindir
Celaan, ejekan

Adalah kritik-kritik, kecaman-kecaman atau pujian yang di ungkapkan dalam suatu cerita, yang disusun sedemikian rupa sehingga harus serta tidak secara langsung menyinggung hati yang dikritik atau dikecamnya.



2

Silib


Silib adalah suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan tertentu.


3
Siloka


kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti yang sesungguhnya.



4
Simbul


perlambang yang harus dicari atau ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.
5
Sasmita
Gerakan bagian tubuh seperti tangan, lengan, bahu , kepala, mata dsb yang mempunyai isyarat tubuh

Isyarat atau pertanda
7
Karatonan


Menceritakan keadaan di keraton Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan besar
8
Pasebanan
Paseban balai yang digunakan untuk menghadap (raja dsb); balai penghadapan

Para pembesar Negara sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di Paseban.
9
Bebegalan


Saat di sebuah hutan, rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan perjalanannya.


10
Karaton lain
Tempat kediaman ratu atau raja

Menceritakan keadaan di keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.



11
Perang papacal
Perang Permusuhan antara dua negara ( bangsa, suku, agama, dsb)

Terjadi peperangan “kecil” antara kedua belah pihak Perang ii bias dimenangkan oleh si baik atau si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa apa yang diingininya.


12
Gara-gara
Peristiwa yang menggemparkan ; kegemparan; kerusuhan ; keributan

Gara-gara ini adalah adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk
13
Perang kembang
Perang Permusuhan antara dua negara ( bangsa, suku, agama, dsb) kembang bunga

Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.



14
Perang barubuh
Perang Permusuhan antara dua negara ( bangsa, suku, agama, dsb)

Tokoh utamanya mengejar musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.


15
karatonan


Seluruh adegan biasanya berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.




Hakikatnya, Panca Curiga tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan antara satu sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Fungsinya adalah untuk memberikan “batasan” kepada Dalang dan Seniman pendukung Wayang Golek agar dalam mengucapkan kata (langsung), karena hal itu dapat menyinggung orang lain serta menurunkan derajat dan nilai seni pedalangan yang mereka anggap adiluhung.

C.    Pengadeganan Wayang
Pengadegan disini adalah pola cerita atau Struktur Dramatik. Alur cerita dalam pergelaran Wayang itu tidak begitu penting sehingga kemapanan pola cerita tidak akan rusak karenanya.Seraca garis besar Susunan Pengadegan itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : Karatonan, Pasebanan, Bebegalan, Karaton lain, Perang Papacal, Gara-gara, Panditaan, Perang Kembang, Perang Barubuh, dan Karatonan.
Karatonan: Menceritakan keadaan di keratin Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan besar. Para Pembesar negeri itu tengah bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, kemudian salah seorang yang hadir mengajukan satu cara. Sang Raja menyetujuinya, kemudian menugaskan para Pembesar untuk menyiapkan diri.
Pasebanan: Para pembesar Negara sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di Paseban. Mereka mendapat tugas dari rajanya, yang intinya perintah tersebut akan merugikan pihak lain. Rombongan itu pergi menuju Negara lawan dipimpin oleh Senapati andalannya. Pimpinan rombongan biasanya akan mengendarai kuda atau gajah yang akan divisualisasikan Dalang dalam bentuk tarian Jaranan yang menarik.
Bebegalan: Saat di sebuah hutan, rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan perjalanannya.
Karaton Lain: Menceritakan keadaan di keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.
Perang Papacal: Terjadi peperangan “kecil” antara kedua belah pihak Perang ini bias dimenangkan oleh si baik atau si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa apa yang diingininya.
Gara-Gara: Gara-gara ini adalah adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk. Setelah lawakan usai, muncullah ksatria (tokoh utama) tersebut dengan Pendita yang menjadi gurunya. Sang Guru memberikan wejangan kepada muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya sang tokoh utama diiringi oleh para. Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.
Perang Kembang: Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.
Perang Barubuh: Tokoh utamanya mengejar musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.
Karatonan: Seluruh adegan biasanya berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.
Waktu dan tempat pertunjukanWayang Golek Sunda dapat dipertunjukkan pada siang hari ataupun malam. Hal ini dikarenakan pergelaran tersebut tidak menggunakan kelir seperti halnya pergelaran Wayang Kulit dari Jawa Tengah atau Jawa Timur yang membutuhkan kegelapan agar wayang dapat dipertontonkan dengan menggunakan cahaya yang minim. Pertunjukan siang hari biasanya dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 16.00 WIB, sedangkan pertunjukan malam hari diselenggarakan mulai pukul 21.30 sampai menjelang azan Subuh.
            Tempat pertunjukan biasa dilaksanakan dimana saja, di dalam ruang tertutup atau di tempat terbuka asal tempat tersebut mampu menampung jumlah pemain dan penontonnya. Baik di dalam ruangan ataupun di tempat terbuka pergelaran wayang golek membutuhkan panggung. Panggung tersebut biasanya lebih tinggi dari pada kedudukan penonton, hal ini dimaksudkan agar para penonton tersebut dapat melihat dengan jelas jalannya pertunjukan.Di atas panggung dipasang dua batang pohon pisang (gedebog) yang panjangnya kurang-lebih 1,5 meter sebagai area permainan atau untuk menancapkan wayang. Posisi kedua gedebog itu ditinggikan sekitar 80 cm dengan memakai penopang dari kayu yang telah dosediakan. Di kanan-kiri area pertunjukan dipasang pula gedebog dengan posisi yang lebih rendah, fungsinya adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang sedang tidak terpakai. Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan yang telah baku.

D.    Fungsi Wayang Golek dalam Masyarakat Indonesia
Dalam perjalanan sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama peran penguasa para bupati di Jawa Barat mempunyai pengaruh besar terhadap berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) dilingkungan Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum. 
Fungsi pertunjukan wayang tersebut bergantung pada permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran tersebut untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual, walupun ada tetapi sudah jarang sekali di pentaskan. Misalnya upacara sedekah laut dan sedekah bumi, setiap tahun sekali. Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan memperingati hari jadi kabupaten, HUT Kemerdekaan RI, Syukuran dan lain sebagainya. Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang mengandung nilai tuntunan dalam pertunjukan wayang golek sudah hilang, tidak demikian halnya. 
Hasil wawancara dari beberapa tokoh wayang, misalnya Bp.Barnas Sumantri (Jakarta), Tjetjep Supriyadi (Karawang), Endin Somawijaya (Sukabumi), Dede Amung (Bandung), memberitakan bahwa sejak tahun 60-an sampai tahun 70-an, fungsi nilai tuntunan masih bisa diterima khalayak penonton. Awal tahun 70-an mulai ada pertunjukan dengan menghadirkan bintang pesinden/juru kawih yang terkenal, bahkan ketenarannya melebihi dalangnya. Akhirnya pergelaran itu bisa diterima masyarakat, dan banyak seniman lain yang menirunya, meskipun sebagian dari mereka belum bisa menerima pembaharuan tersebut. Dari masyarakat, khususnya para seniman wayang (dalang, niyaga, pesinden), sejak itu mereka mulai mengadakan eksplorasi pertunjukan yang mengedepankan visualisasi tontonan dan hiburan. Maka tidak mengherankan bila pada waktu itu, sudah ada pertunjukan wayang golek yang mendatangkan tari Jaipong yang menari di atas panggung. Itulah barangkali yang membuat esensi dari wayang tersebut kurang begitu seimbang antara konsep wadah dan isi. 





BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Wayang merupakan mahakarya kebudayaan tradisi Indonesia tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di Bandung.

B.     Saran
Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan dari barat hingga timur. Dengan banyaknya kebudayaan yang dimiliki, sepatutnya masyarakat Indonesia menjaga apa yang telah dijaga selama beberapa generasi. Makna menjaga, tidak hanya sekadar menaruh berbagai bentuk kebudayaan, terutama wayang, di dalam museum. Namun yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga eksistensi kebudayaan yang kita miliki sehingga seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia, mengenal bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang dimaksud. Apalagi wayang, sebagai salah satu kebudayaan asli Indonesia, memiliki nilai-nilai kehidupan pada setiap pertunjukannya. Hal ini sekaligus dapat mendidik masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan.







DAFTAR PUSTAKA

Supriyono, dkk. 2008. Buku Pedalangan untuk SMK. Jakarta : Penerbit Departemen Pendidikan Nasional